Mari Menjaga Rumah Bumi Kita
“Bumi, tempat yang kita sebut rumah, berada dalam masalah. Kita semua memiliki andil di dalamnya.” Inilah pesan film ini. “Selama 50 tahun terakhir, bumi yang menjadi rumah kita, berubah total. Perubahan ini mengalahkan semua perubahan yang pernah dilakukan oleh seluruh generasi sebelumnya dikumpulkan jadi satu.”
***
Tiap Jumat, di YLSA, selalu ada “training” — kadang tentang pengembangan diri, atau kerohanian atau IT, dll.. Kali ini, acara trainingnya diisi dengan menonton film yang berjudul “Home”. Bukan film “action” yang kusukai atau pun drama yang menguras air mata, tetapi sejenis film dokumenter. Mengingat keadaan hutan belantara tempat kelahiranku, aku sedikit tersentuh karena lembaga pelayanan Kristen tempatku bekerja, mengajak semua stafnya menonton film tentang lingkungan hidup. Selama ini aku lihat orang Kristen atau lembaga Kristen mengacuhkan isu lingkungan hidup dengan alasan alkitabiah: “Bumi toh hanya sementara, suatu saat akan hancur, akan ada akhir zaman.”
Memang, bumi sedang berjalan menuju kehancuran. Bumi, tempat tinggal kita tidak pernah diciptakan untuk abadi. Matahari sebagai sumber kehidupan bukanlah bulatan cahaya yang memancarkan energi abadi. Setiap hari, setiap detik, energinya berkurang. Suatu saat energi itu akan habis, dan kehidupan musnah.
Alkitab tidak pernah berkata bumi ini abadi. Tuhan tidak pernah berkata, alam semesta ini kekal. Apakah kenyataan adanya akhir zaman membuat kita membiarkan bumi hancur lebih cepat? Apa yang terjadi 50 tahun terakhir membuktikan bahwa manusia mampu melakukannya — menghancurkan rumah kita sendiri.
Kita benar-benar sudah melaksanakan ayat di Kejadian 1:28 — “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Ketika jumlahnya masih sedikit, manusia tidak membuat banyak kerusakan. Saat beranak cucu dan bertambah banyak, kita memenuhi dan menguasai bumi. Kota-kota besar tumbuh, bahkan padang pasir kita taklukkan. Padang tandus yang tidak memiliki persediaan air, kita sulap menjadi kota dengan mengambil cadangan air bersih dunia. Air yang menjadi sumber kehidupan pun jadi berkurang.
Aku sudah melihat dengan mata kepala sendiri apa yang diperlihatkan di film ini. Apa yang dulu bernama rimba Kalimantan sekarang seperti kepala orang botak. Membuatku teringat ketika aku masih di kelas tiga SD. Aku naik ke bukit yang berada tepat di tengah Borneo. Dari atas terlihat hamparan rimba dan seekor ular panjang membelahnya. Sesudah lulus dari SMP, aku naik lagi ke bukit yang sama, rimba itu sudah tidak ada, bahkan ular itu tidak lagi berkelok, hanya lurus! Penambang emas telah mengeruk semua kelokannya.
Narator film berkata, “It’s too late to be a pesimist.” Aku setuju. Kita harus melakukan sesuatu untuk mencegah kerusakan alam. Bila menganggap bumi sebagai rumah kita, maka kita tahu bahwa kerusakan di satu bagian akan membuat bagian yang lain ikut merasakan akibatnya. Artinya, kebakaran hutan Kalimantan tidak hanya merugikan Indonesia, Malaysia, atau Singapura, tetapi seluruh bumi. Dan saat terjadi kebakaran hutan di Melbourne, seharusnya bukan hanya orang Australia yang berduka.
“Sudah terlambat untuk menjadi pesimis, saatnya melakukan sesuatu.”
Benar, setelah menonton film ini, kami berdiskusi — Apa yang YLSA bisa lakukan untuk lingkungan hidup? YLSA punya 20 publikasi dan lebih dari 30 situs. Melaluinya, yayasan ini bisa mengajak orang lain peduli lingkungan dengan menulis artikel-artikel tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup, memberikan informasi situs-situs yang dapat menggerakkan masyarakat untuk mencintai alam, misalnya www.globalplanet.com, dan mengajak orang lain ikut melakukan sesuatu demi menjaga bersama rumah bumi ini. Bukan hanya itu, YLSA juga bisa melakukan hal-hal praktis — stafnya bisa mengurangi pemakaian kendaraan bermotor; mengurangi pemakaian plastik; menghemat listrik, dan air. Beberapa hal-hal itu sebenarnya sudah YLSA lakukan, seperti tidak sering-sering memakai AC; mematikan komputer saat tidak dipakai; dan mengurangi pemakaian kertas (paperless office).
Saya menyukai kalimat di akhir film ini. “It’s up to us to write what happens ‘NEXT'” — tergantung kita untuk menuliskan apa yang terjadi berikutnya di bumi kita ini. Apakah kita akan melanjutkan cerita tentang dunia yang hancur sebelum waktunya? Atau kita melakukan sesuatu untuk menyelamatkan rumah kita, bumi ini?
Cetak tulisan ini
August 13th, 2009 - 07:57
Tulisan yang bagus Yup …
Menyentuh …. terutama yang tentang pengalamanmu naik ke atas bukit itu :>
Anyway, bener banget kata-katamu yang kamu ambil dari film itu, “Sudah terlambat untuk menjadi pesimis, saatnya melakukan sesuatu.”
Kita punya 20 publikasi yang kalau ditotal, pelanggannya bisa mencapai angka 60.000. Jadi akan baik banget kalau kita bisa manfaatkan itu. Entah membuat publikasi khusus untuk lingkungan, e-Bumi misalnya, seperti yang diusulkan Billy waktu kita berdiskusi, atau memperingati hari-hari lingkungan dengan menampilkan sebuah artikel khusus mengenai pentingnya lingkungan di publikasi-publikasi yang sekarang ini ada.
Harapannya, kesadaran untuk menjaga lingkungan itu bisa tersampaikan kepada para pelanggan dan kemudian dari pelanggan bisa diteruskan kepada semua kenalannya, dan semua kenalan pelanggan meneruskannya pada semua kenalannya …:p dan begitu seterusnya.
August 13th, 2009 - 10:12
Saya sudah berkali-kali mendengar kisah tragis hutan Kalimantan itu. Meskipun demikian, ada banyak pihak yang punya “kekuatan” yang lebih memilih meneruskan perusakan alam daripada pelestarian. Sementara, masyarakat sendiri … well saya tidak mau menghakimi deh. Mari mulai dari diri sendiri.
Hm? Kapan mau buka publikasi khusus lingkungan hidup?
August 14th, 2009 - 15:10
Mas Indonesiasaram …
Setuju … mulai dari diri sendiri :>
Belum tahu kalau soal ini, baru berupa usulan … Kalau memang bener-bener mau buka … harus dipikir dulu nanti isinya akan seperti apa … mau bantu pikir?:p
September 12th, 2009 - 09:50
BENAR BUMI INI HARUS KITA JAGA, TAPI TIDAK BISA MASIH BANYAK ORANG LAIN YANG TIDAK MAU MENJAGANYA, MULAI DARI DIRI KITA SENDIRI
September 17th, 2009 - 22:31
Betul, YLSA telah berkomitmen untuk ikut ambil bagian dalam gerakan menjaga lingkungan, tak lain tak bukan adalah karena Tuhan yang memanggil kita untuk bertanggung jawab menjaga lingkungan. Tadi di rapat Pimred Div. PUB, Dian sebagai Koordinator Div. Pub, telah meminta semua Pimred untuk ikut merayakan “Hari Pohon” di publikasinya masing-masing pada bulan November nanti. Sip deh. Semoga para pelanggan publikasi YLSA, yang jumlahnya hampir 70 ribu, dapat ikut ambil bagian dalam gerakan menjaga lingkungan.
Dian, aku sudah mendahului lho, karena e-Reformed telah menyajikan artikel tulisan Robert P. Borrong, yang diambil dari Jurnal Pelita Zaman dengan judul ETIKA LINGKUNGAN HIDUP DARI PERSPEKTIF TEOLOGIA KRISTEN.
Sahabat dan Pendukung YLSA, silakan berkunjung ke arsip publikasi e-Reformed di
http://www.sabda.org/publikasi/e-reformed/114/ atau situs SOTeRI di http://soteri.sabda.org/etika_lingkungan_hidup_dari_perspektif_teologi_kristen
September 18th, 2009 - 15:38
Hahaha, iya Bu Yulia, e-Reformed terlalu bersemangat mengajak banyak orang peduli lingkungan :p Ngga apa-apa Bu, besok November e-Reformed kirim lagi saja artikel yang berkaitan dengan lingkungan dan bumi, semakin banyak ajakan semakin bagus .. hehehe.
November saya rasa momennya tepat untuk mengajak para pelanggan publikasi YLSA peduli lingkungan, karena hari ke-21 bulan itu adalah Hari Pohon.
Jadi, yuk bareng-bareng menjaga lingkungan. Bener kata Ling, mulai dari diri sendiri. Semua orang mulai dari diri sendiri menjaga lingkungan … Karena saat kita mencintai hidup, maka hidup akan balik mencintai kita (dikutip dari e-Leadership 53).