Sastra Oh Bahasa … Apa Kabar?
Akhir-akhir ini, saya bernostalgia lagi dengan sastra. Eitz … tak hanya sastra, tetapi juga bahasa Indonesia. Jadi ingat masa-masa kuliah dulu yang setiap hari berkecimpung dengan itu …. 🙂 Sastra itu asyik apalagi bahasa Indonesia. Namun, kita tidak boleh terlena dan hanya asyik menikmati karya-karya sastra dan bacaan-bacaan berkualitas dari penulis-penulis ternama, sampai-sampai kita tutup mata dengan keberadaan bahasa dan nasib sastra saat ini. Inilah kesimpulanku setelah membaca beberapa kliping artikel bertema sastra dan bahasa yang sempat diedarkan di kantor.
“Artikel ini harus dibaca semua staf. Bagi yang sudah baca, harus kasih tanda tangan di pinggir ya!” Itulah perintah perdana ketika sebuah kliping bertema sastra diedarkan di kantor Griya SABDA. Artikel pertama dan disusul beberapa artikel selanjutnya diedarkan dan dibaca dengan cepat oleh semua staf secara bergilir. Namun, untuk artikel yang terakhir, peredarannya cukup lambat … he-he-he … karena kami tak hanya membaca dan tanda tangan, tetapi harus menulis komentar mengenai artikel tersebut. Perintahnya semakin “kompleks” ya … hmmm. 🙂
Di YLSA, semua staf selalu didorong, bahkan dipaksa, untuk membaca. Nah, kegiatan membaca artikel ini menjadi salah satu cara YLSA untuk menolong staf YLSA, khususnya staf publikasi, untuk bisa mengikuti perkembangan bahasa dan sastra saat ini, selain juga menambah pengetahuan dan membiasakan aktivitas membaca. Dari keempat artikel yang sudah diedarkan, saya jadi terusik dengan keberadaan sastra dan bahasa Indonesia saat ini. Sebenarnya, bukan hanya dari artikel ini saja sih. Ketika saya “blusukan” ke toko buku pun, saya sudah curiga dengan eksistensi sastra dan bahasa Indonesia sekarang ini. Banyak karya fiksi terpampang di sana, bahkan sampai didiskon tinggi, tetapi semuanya hanya menarik di cover-nya saja. Bahkan, ketika halaman pertama dibuka pun, bahasa-bahasa gaul dan bahasa Inggris sudah mendiami hampir di setiap paragrafnya. Tak heran juga jika Na’imatur Rofiqoh, penulis artikel yang berjudul “Nasib Bahasa Indonesia”, mengkritik tentang pemakaian kata-kata dalam bahasa Inggris di iklan-iklan, instansi, tempat umum, dll., padahal kata-kata tersebut sudah memiliki terjemahan/padanannya dalam bahasa Indonesia.
Sedikit nostalgia ya, semasa kuliah, saya suka karya Marianne Katoppo, yang salah satu novelnya berjudul “Raumanen” — kontennya kental dengan budaya, adat Batak, dan masalah-masalah adat, Remy Silado dengan puisi-puisi Mbeling, Kerygma dan Martyria, semua karya Mira W. yang selalu memuat istilah kedokteran di dalam novel-novelnya, Pudji Santosa dengan karya “Semiotika”, dll.. Ketika membaca artikel “Hidupkan Sastra Lama Lewat Penulisan Ulang” yang diambil dari koran Solopos, 19 Desember 2016, saya jadi sedih juga, soalnya karya-karya sastra zaman lama kini kurang dilirik lagi. Seharusnya, karya-karya sastra Indonesia bisa dikenal juga oleh siswa-siswi zaman sekarang supaya menolong mereka mengenal karya sastra dan keunikan budaya Indonesia. Meski bahasa penyampaian disederhanakan tak masalah, yang penting karya sastranya bisa disampaikan dan dimengerti oleh siswa-siswi zaman ini. Apa sih keuntungannya? Menurut seorang guru SMAN 1 Karanganyar, Giyato, dalam artikelnya berjudul “Darurat Sastra di Sekolah”, membaca sastra akan membentuk kecintaan dan adiksi membaca buku. Nilai estetik dan puitik dari sebuah sastra diyakini mampu memompa dan membangun karakter siswa. Saya berpikir bahwa Indonesia pasti akan sangat kehilangan keindahan dan keunikan sastra Indonesia dan bahasanya jika kita semua, terutama yang pernah menikmati keindahan dan keunikan itu sejak dulu, tidak ikut berjuang membangkitkan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. Kita adalah orang Indonesia, mari menggunakan bahasa Indonesia dengan benar dan mengenal karya-karya sastra Indonesia.
Sebagai orang percaya, kita harus menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar kita dengan menghargai bahasa, budaya, dan karya sastra Indonesia. Mari kita budayakan menggunakan bahasa Indonesia dengan benar, mendukung gerakan gemar membaca, dan mengenal karya-karya sastra Indonesia supaya kita dan Indonesia dengan segala keindahan dan keunikannya bisa menjadi berkat bagi banyak orang.
“Gunakan bahasa yang kamu ingin gunakan, kamu tidak akan pernah mengatakan sesuatu, selain dirimu.
(Use what language you will, you can never say anything but what you are — Ralph Waldo Emerson)
Leave a comment