The Benefits of Bilingual Brain
Pada hari Senin, 10 Februari 2020, kami mengikuti +ED-Mini SABDA yang kedua untuk tahun ini. Senin itu, giliran Andy Saktia yang menjadi fasilitator, sedangkan Mei bertugas menjadi moderatornya. Karena +ED-Mini kali ini masih dalam format menonton video, Andy mengajak kami semua menonton salah satu video +ED-Ed Animations yang berjudul The Benefits of Bilingual Brain yang dibawakan oleh Mia Nacamulli.
Menurut saya, topik kali ini cukup menarik. Salah satunya karena saya merasa bahwa saya seorang dengan otak yang bilingual dan sudah mengalami begitu banyak manfaat dari hal tersebut. Namun, setelah menonton video itu, saya juga belajar beberapa hal baru. Mia Nacamulli membuka pemaparannya dengan menuturkan bahwa seorang bilingual tidak hanya dapat menikmati keuntungan berupa kemudahan dalam berkomunikasi atau dapat menonton film tanpa subtitle. Seorang bilingual memiliki otak yang tampak dan bekerja dengan cara yang berbeda dari otak orang-orang yang monolingual. Lebih jauh lagi, Mia menjelaskan bahwa bilingualisme dapat dibagi ke dalam tiga tipe umum berdasarkan situasi dan cara orang mempelajari bahasa kedua. Ketiga tipe itu adalah:
- Compound bilingual: bilingual yang mengembangkan dua kode linguistik secara bersamaan dalam satu konsep.
- Coordinate bilingual: bilingual yang mengembangkan kode linguistiknya dari dua konsep bahasa yang berbeda.
- Subordinate bilingual: orang bilingual yang mempelajari bahasa asing dengan cara memfilternya menggunakan bahasa utama mereka.
Dalam pemaparan berikutnya, Mia menyatakan bahwa terlepas dari aksen dan pengucapan yang sempurna, semua orang dapat menguasai bahasa kedua dengan fasih sehingga tiga tipe belajar di atas mungkin tidak akan begitu tampak berbeda bagi mata orang awam. Namun demikian, penelitian menemukan bahwa anak-anak yang belajar bahasa kedua sejak dini (compound bilingual) menggunakan kedua belah otak mereka sehingga mereka mempelajari bahasa dengan cara yang lebih holistik dalam konteks sosial dan emosional daripada orang dewasa. Sebaliknya, penelitian terbaru memberi tahu kita bahwa saat orang dewasa mempelajari bahasa kedua, mereka menunjukkan sikap yang tidak bias secara emosional dan lebih rasional saat mengalami masalah dalam mempelajari bahasa tersebut. Karena itu, tak peduli kapan atau bagaimana cara kita mempelajari bahasa kedua, otak kita tetap mendapat manfaat dari aktivitas tersebut.
Selain keuntungan-keuntungan itu, Mia juga menyoroti perkembangan terbaru mengenai bilingualisme dalam perkembangan anak. Sebelum tahun 1960-an, bilingualisme seorang anak dipandang sebagai hambatan bagi perkembangannya. Bilingualisme dianggap memperlambat anak karena memaksa mereka untuk membedakan konsep dari dua bahasa. Kenyataannya, meski terkadang reaksi anak-anak ini lebih lambat dan cenderung melakukan kesalahan dalam tes lintas bahasa, perhatian dan upaya yang mereka kerahkan itu memicu aktivitas otak sehingga menguatkan dorsal lateral prefrontal cortex — bagian otak yang bertugas mengelola kemampuan untuk memecahkan masalah, beralih dari satu tugas ke tugas lain, dan memusatkan perhatian sembari memblok informasi yang tidak relevan dari lingkungan sekitar. Kesimpulannya, meski bilingualisme tidak serta-merta membuat seseorang menjadi lebih pintar, hal ini tetap memberi keuntungan; otak yang sehat, kompleks, dan aktif memproses informasi.
Dari diskusi kelompok dan sharing teman-teman, saya juga semakin menyadari bahwa bilingualisme juga membuka kesempatan akan kehidupan yang lebih kaya. Memahami bahasa lain membuat lingkaran pergaulan kita lebih luas, kesempatan karier yang lebih bervariasi, sumber pengetahuan yang lebih banyak, bahkan kepekaan dalam menyaring informasi yang ada di dunia digital. Sebagai orang Kristen, belajar bahasa asing (dalam hal ini Ibrani dan Yunani) juga dapat menolong kita memahami firman Tuhan dengan lebih dalam.
Dari +ED-Mini kali ini, saya belajar banyak dan semakin yakin bahwa bilingualisme memberi banyak manfaat bagi otak kita. Selain itu, juga mengoreksi anggapan saya tentang bilingualisme pada anak-anak sehingga terdorong untuk mengajari anak saya bahasa asing sejak masa mudanya. 🙂
Cetak tulisan ini
Leave a comment