Beberapa waktu yang lalu, YLSA kembali mengadakan pelatihan staf dengan metode menonton film bersama. Kali ini kami menonton film Monk, sebuah serial TV AS yang menceritakan tentang seorang detektif bernama Adrian Monk. Monk adalah detektif yang terkenal dengan ‘keunikannya’ sebagai penderita ‘OCD’.

OCD atau “Obsessive-Compulsive Disorder” (gangguan obsesif-kompulsif) adalah sebuah gangguan kecemasan yang ditandai dengan munculnya secara tetap pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang dilakukan berulang-ulang dan sulit dikendalikan. Contohnya, berulang kali mencuci tangan karena khawatir terkena kotoran, berulang kali memeriksa kunci rumah karena khawatir belum dikunci, atau berulang kali memeriksa kompor karena takut belum dimatikan.

Selain memiliki OCD, Monk juga memiliki fobia atau ketakutan yang berlebihan terhadap 312 hal, mulai dari takut terhadap kuman hingga takut ketinggian. Walaupun demikian, ia mampu mengatasi kekurangan-kekurangannya tersebut dan mengubahnya menjadi kelebihan-kelebihan yang sangat berguna dalam menginvestigasi kasus-kasus kriminal, misalnya, karena banyak yang ia takuti, ia jadi memperhatikan hal-hal yang detil, dan ingatan Monk sangat tajam, lebih daripada orang normal. Dalam episode yang kami tonton, ada satu fakta sepele tentang pulpen yang menggelinding pada awal episode yang ternyata mengantarkannya untuk memecahkan kasus pembunuhan.

Dari ‘nonton bareng’ film Monk ini, apa yang dapat kami (staf YLSA) pelajari dan terapkan dari menonton episode Monk untuk pelayanan di YLSA? Saya pribadi belajar bahwa OCD yang berlebihan memang dapat mengganggu orang-orang di sekitar kita — itu sebabnya ia disebut “disorder” atau “gangguan”. Tetapi dengan memiliki sedikit gejala “obsesif-kompulsif” yang tepat, kita bisa memanfaatkannya untuk menjadi sesuatu yang menguntungkan kita. Misalnya, ketika menulis saya sering mengkhawatirkan apakah saya sudah menulis dengan bahasa Indonesia yang benar atau belum. Sementara itu, ketika saya menulis kode pemrograman, saya juga melatih diri untuk memberi perhatian pada hal-hal detail. “Obsesi” terhadap kode program yang benar mendorong saya untuk bekerja lebih teliti lagi, memperhatikan setiap detil, dan menandai setiap kesalahan dengan cepat dan tepat. Sifat “kompulsi” membantu saya menemukan pola kesalahan dan menghubungkannya dengan semua kemungkinan kesalahan yang bisa terjadi.

Nah, teman-teman dan pembaca sekalian yang pernah menonton film ini, apa yang dapat Anda pelajari? Silakan saling berbagi dengan meninggalkan komentar di bawah ini.