Blog SABDA
19Apr/134

Monk, OCD, dan Pelayanan


Beberapa waktu yang lalu, YLSA kembali mengadakan pelatihan staf dengan metode menonton film bersama. Kali ini kami menonton film Monk, sebuah serial TV AS yang menceritakan tentang seorang detektif bernama Adrian Monk. Monk adalah detektif yang terkenal dengan ‘keunikannya’ sebagai penderita ‘OCD’.

OCD atau “Obsessive-Compulsive Disorder” (gangguan obsesif-kompulsif) adalah sebuah gangguan kecemasan yang ditandai dengan munculnya secara tetap pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang dilakukan berulang-ulang dan sulit dikendalikan. Contohnya, berulang kali mencuci tangan karena khawatir terkena kotoran, berulang kali memeriksa kunci rumah karena khawatir belum dikunci, atau berulang kali memeriksa kompor karena takut belum dimatikan.

Selain memiliki OCD, Monk juga memiliki fobia atau ketakutan yang berlebihan terhadap 312 hal, mulai dari takut terhadap kuman hingga takut ketinggian. Walaupun demikian, ia mampu mengatasi kekurangan-kekurangannya tersebut dan mengubahnya menjadi kelebihan-kelebihan yang sangat berguna dalam menginvestigasi kasus-kasus kriminal, misalnya, karena banyak yang ia takuti, ia jadi memperhatikan hal-hal yang detil, dan ingatan Monk sangat tajam, lebih daripada orang normal. Dalam episode yang kami tonton, ada satu fakta sepele tentang pulpen yang menggelinding pada awal episode yang ternyata mengantarkannya untuk memecahkan kasus pembunuhan.

Dari ‘nonton bareng’ film Monk ini, apa yang dapat kami (staf YLSA) pelajari dan terapkan dari menonton episode Monk untuk pelayanan di YLSA? Saya pribadi belajar bahwa OCD yang berlebihan memang dapat mengganggu orang-orang di sekitar kita — itu sebabnya ia disebut “disorder” atau “gangguan”. Tetapi dengan memiliki sedikit gejala “obsesif-kompulsif” yang tepat, kita bisa memanfaatkannya untuk menjadi sesuatu yang menguntungkan kita. Misalnya, ketika menulis saya sering mengkhawatirkan apakah saya sudah menulis dengan bahasa Indonesia yang benar atau belum. Sementara itu, ketika saya menulis kode pemrograman, saya juga melatih diri untuk memberi perhatian pada hal-hal detail. “Obsesi” terhadap kode program yang benar mendorong saya untuk bekerja lebih teliti lagi, memperhatikan setiap detil, dan menandai setiap kesalahan dengan cepat dan tepat. Sifat “kompulsi” membantu saya menemukan pola kesalahan dan menghubungkannya dengan semua kemungkinan kesalahan yang bisa terjadi.

Nah, teman-teman dan pembaca sekalian yang pernah menonton film ini, apa yang dapat Anda pelajari? Silakan saling berbagi dengan meninggalkan komentar di bawah ini.

Kusumanegara

Tentang Kusumanegara

Kusuma Negara telah menulis 14 artikel di blog ini..

Cetak tulisan ini Cetak tulisan ini
Comments (4) Trackbacks (0)
  1. Di YLSA saya belajar untuk bisa belajar dari apapun film yang saya tonton … hehe … Bagi saya, pelatihan dengan menonton sebuah film merupakan keunikan tersendiri di YLSA. Termasuk menonton serial ‘Monk’. Tadinya saya pikir Adrian Monk, nama tokoh utama ‘Monk’, adalah orang yang punya ‘ketakutan-ketakutan’ yang sangat berlebihan, tapi ternyata OCB yang dia ‘derita’ telah menjadi kelebihan yang sangat menolongnya memecahkan kasus-kasus yang ditanganinya.

    Saya jadi belajar untuk memiliki ‘ketakutan-ketakutan’ dalam menjalankan pekerjaan saya. Takut menjadi tidak teliti, takut menjadi tidak peka, takut meremehkan hal-hal kecil. Saya pikir sikap ‘OCB’ dalam pekerjaan juga menjadi wujud tanggung jawab kita terhadap pekerjaan lhooo…:D

  2. OCD beda dengan O, CD?
    Ini adalah sejenis “keistimewaan” yang sangat istimewa yang dialami oleh satu orang di antara sekian ribu/juta orang. Saya rasa, semua orang memiliki bakat OCD meskipun tingkatnya berbeda-beda.

    Nah, orang macam Monk ini, sangat ekstrem. OCD membuatnya tidak bisa menyentuh sembarang benda atau orang. Akan tetapi, di balik keistimewaannya yang tidak biasa ini, ia memiliki banyak kelebihan dalam menemukan titik-titik kunci untuk menguak suatu rentetan peristiwa yang ia selidiki.

    Selain belajar “how to connect the dots”, saya belajar untuk menciptakan gejala-gejala atau kebiasaan-kebiasaan OCD. 😀

  3. Kembali lagi, beberapa waktu yang lalu kami training dengan nonton film bersama. Kali ini dengan judul “MONK”. Dia merupakan seorang detektif yang mempunyai OCD. Dari film ini saya mendapat pelajaran untuk dapat peka dengan hal-hal yang detail. Ada satu adegan yang masih saya ingat pada waktu akhir dari cerita ini yang kasusnya terselesaikan dengan pena yang menggelinding di cerita awal film karena dengan ketajaman ingatan dan memperhatikan hal-hal kecil, itu sangat berguna. Kalau kita punya OCD, tentu akan menggangu orang lain, tetapi apabila kita mempunyai OCD dengan takaran yang pas, maka itu akan menjadi kelebihan kita. 🙂

    Terima kasih, itu pelajaran yang saya dapat… 🙂

  4. Dari film ini saya belajar bahwa kelemahan diri tidak selalu menjadi penghalang untuk maju dalam satu bidang. Jika seseorang mengenal diri mereka dengan baik dan tahu bagaimana cara menggunakan kelemahan mereka untuk hal yang berguna, maka kelemahan itu bisa berbalik menjadi keunggulan diri. Seperti Monk, dia mengalami OCD, tetapi dengan itu dia justru menjadi seorang “penyidik” yang teliti dan bisa diandalkan.


Leave a comment

Connect with Facebook

No trackbacks yet.