Blog SABDA
29Oct/113

YLSA Menyelenggarakan Seminar Siklus Spiritual

Pada bulan September yang lalu, YLSA kembali menyelenggarakan seminar rohani di kota Solo, yang berjudul Siklus Spiritual yang dibawakan oleh Pdt. Yohan Candawasa. Saya pun sangat bersyukur kepada Tuhan, karena bisa ikut terlibat dalam kepanitiaan. Lebih dari itu, momen ini sangat menyejukkan jiwa saya, karena ketika saya merasakan “kekeringan” secara rohani, Dia memberi semangat baru melalui siraman firman dalam seminar ini.

Persiapan seminar sudah kami lakukan sejak bulan Juli 2011. Mulai dari mencari tempat seminar, membuat brosur, banner dan tiket, mengurus surat-menyurat dan publikasi, sampai memesan konsumsi dan berlatih pujian. Selain melibatkan semua staf YLSA, kami juga dibantu oleh rekan pelayanan kami, Ibu Widya, yang berdomisili di Solo. Melayani bersama-sama merupakan kesempatan yang menyenangkan. Masing-masing memiliki tanggung jawab supaya semua berjalan dengan lancar terkoordinasi dengan baik.

Dalam seminar ini, saya melayani sebagai singer bersama Fitri dan Rian. Kami berdoa bersama dengan pembicara, Pdt. Yohan Candawasa, sebelum seminar dimulai. Meskipun saya sudah pernah bertemu dengan Pdt. Yohan Candawasa, tapi baru kali ini bisa berbicara dan berfoto bersama. Hal yang juga seru malam itu adalah dapat bertemu dengan beberapa mantan staf YLSA dan berfoto bersama. Serasa reuni! 😀

Dalam seminar ini, Pdt. Yohan Candawasa membahas tema “Siklus Kehidupan Kristen”. Beliau mengawali dengan membeberkan fakta adanya 2 jurang yang sering menjadi penghalang pertumbuhan rohani orang Kristen. Jurang pertama disebabkan karena hubungan yang rusak antara manusia dan Allah oleh dosa. Untuk itu, Yesus datang ke dunia dan mati disalib untuk menutupi jurang itu sehingga manusia dapat diselamatkan, kembali kepada Allah dengan status sebagai “orang kudus”, tidak lagi sebagai “orang berdosa”. Keselamatan ini adalah karya Kristus yang gratis karena tidak menuntut usaha manusia (Efesus 2:8-9), itu semua adalah anugerah. Namun setelah menerima keselamatan, hidup baru dalam Kristus ternyata tidak lagi gratis — ini menjadi jurang kedua yang harus dilewati orang Kristen, “hidup Kristen yang ideal”, yang akhirnya dijalani sebagai rutinitas keagamaan. Lebih jelas lagi, Pdt. Yohan menunjukkan apa yang dikatakan oleh Wang Ming Tao sebagai “termometer hidup rohani”, yang berisi daftar tuntutan hidup orang Kristen yang ideal:
– rajin berdoa
– pergi ke gereja
– membaca Alkitab setiap hari
– menginjili
– melayani
– dst..

Tuntutan-tuntutan baru ini oleh Pdt. Yohan disebut sebagai Hukum Taurat baru, karena jika tidak dipenuhi akan menimbulkan rasa berdosa. Daftar tuntutan itu makin lama makin panjang, dan orang Kristen menjadi semakin tertekan karena selalu gagal memenuhinya. Di sinilah siklus kerohanian mulai terjadi, yaitu kerohanian yang berbentuk siklis. Menurut Kamus SABDA , kata siklus berarti putaran waktu yang di dalamnya terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur. Jadi, siklus kerohanian terjadi ketika orang Kristen berputar-putar pada perbuatan yang sama — yaitu jatuh dalam dosa, mengaku dosa, lalu mohon ampun kepada Tuhan dan berkomitmen untuk tidak melakukannya lagi. Tapi sesaat kemudian, ia jatuh lagi dalam dosa yang sama, lalu mengulangi lagi tindakan sama, lagi dan lagi. Jika orang Kristen sudah masuk ke dalam siklus ini, maka kerohaniannya pasti akan mati.

Pada fase inilah orang Kristen menyadari bahwa “salvation is free, but discipleship is costly“. Salib dan anugerah seakan-akan hanya berlaku pada saat mendapatkan keselamatan, tetapi tidak lagi berguna setelah diselamatkan. Sebaliknya, hidup baru menjadi Kristen menjadi hidup yang sangat mahal, karena harus dibayar dengan usaha yang sangat melelahkan dan kerja keras. Dan pada akhirnya, kehidupan kerohanian Kristen dengan siklus seperti ini akan menjadi beban yang teramat berat dan sangat mengecewakan. Oleh karenanya, tidak jarang orang Kristen pada fase ini akan ketakutan dan bertanya, “jangan-jangan aku belum diselamatkan?” Bisakah orang Kristen keluar dari siklus kehidupan kerohanian yang “dead-end/buntu” seperti ini?

Penjelasan tentang siklus rohani yang terjadi pada banyak orang percaya ini benar-benar menyentak saya, karena itulah yang juga saya alami. Dalam menjalani hidup, tidak jarang saya berkutat dalam siklus pengudusan: berkomitmen untuk hidup benar dan kudus, tapi gagal dan berbuat dosa, lalu mohon ampun, dan berkomitmen lagi untuk tidak mengulanginya, namun gagal lagi dan seterusnya. Menjadi orang Kristen dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat tidak otomatis membuat kita menjadi manusia super yang imun terhadap dosa. Manusia memang sudah rusak karena dosa dan akan tetap rusak selama kita masih hidup di dunia. Status kitalah yang sudah diubahkan oleh Tuhan, dari “berdosa” menjadi “kudus”, bukan keadaan kita.

Semakin kita menyadari keberdosaan kita dan kerusakan kita, maka semakin besar rasa syukur kita kepada Tuhan, dan salib Kristus menjadi semakin berharga dalam hidup kita. Salib Kristus harus semakin bertumbuh besar dalam hidup kita, karena kita menyadari tanpa karya salib Kristus, hidup kita tidak ada apa-apanya dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Itu sebabnya, Yesus berkata dalam Matius 18:21-35, bahwa orang yang berhutang paling banyak akan bersyukur paling banyak. Demikian juga yang Paulus alami di dalam I Timotius 1:15. Karena itu, jalan keluar yang dapat kita ambil untuk menjalani kehidupan rohani yang kerap kali jatuh bangun adalah dekat dengan Tuhan. Semakin kita dekat dengan Tuhan, maka semakin nyata dosa-dosa kita, dan kita akan semakin bergantung kepada Tuhan. Semakin kita bergantung kepada Tuhan, maka semakin besar rasa syukur kita kepada Tuhan.

Bagaimana dengan rekan-rekan YLSA yang lain? Cerita ya…
Terima kasih. 🙂

Setya

Tentang Setya

Sri Setyawati telah menulis 18 artikel di blog ini..

Cetak tulisan ini Cetak tulisan ini
Comments (3) Trackbacks (0)
  1. Saat mengikuti seminar ini, saya membantu di bagian pendaftaran. Jadi, saya tidak bisa tepat waktu untuk mengikuti seminar dari awal … saat seminar sudah berlangsung beberapa saat, saya baru bisa mengikuti. Senang membaca tulisan ini karena bagian-bagian yang tidak saya dapatkan waktu seminar, bisa saya dapatkan melalui tulisan ini.

    Terima kasih mbak Setya untuk tulisannya …. 🙂

  2. Hehe…

    Sama-sama Santi…

  3. Seminar ini sangat menarik. Meskipun harus mondar-mandir alias jadi panitia serabutan, satu hal yang saya dapat dari seminar ini adalah “orang Kristen yang dewasa secara rohani, ‘rem’ nya pakem” — istilah yang digunakan oleh pembicara. GBU


Cancel reply

Connect with Facebook

No trackbacks yet.