Blog SABDA
17Jul/201

SABDA Live : #FunTalk Sesi “Masih Hidup? … Produktif karena Pandemi”

Oleh: Yurike

Apa kabar Sahabat SABDA? Semoga tetap dalam keadaan yang bersukacita. Perkenalkan, saya Yurike Poyungi. Saat ini, saya adalah salah satu staf magang di Yayasan Lembaga SABDA. Pada kesempatan ini, saya akan berbagi sedikit tentang satu topik, yaitu produktif. Istilah ini sudah cukup lama populer di kalangan masyarakat saat ini.

Apa kabar Sahabat SABDA? Semoga tetap dalam keadaan yang bersukacita. Perkenalkan, saya Yurike Poyungi. Saat ini, saya adalah salah satu staf magang di Yayasan Lembaga SABDA. Pada kesempatan ini, saya akan berbagi sedikit tentang satu topik, yaitu produktif. Istilah ini sudah cukup lama populer di kalangan masyarakat saat ini.

Apakah yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata “produktif”? Mungkin kebanyakan dari kita sepakat bahwa melakukan banyak hal, menyelesaikan to do list, mencapai target yang direncanakan adalah bentuk dari kegiatan produktif. Dalam KBBI, kata “produktif” memiliki beberapa arti sebagai berikut:

  1. Produktif itu bersifat atau mampu menghasilkan (dalam jumlah besar)
  2. Mendatangkan (memberi hasil, manfaat, dan sebagainya)
  3. Mampu menghasilkan terus dan dipakai secara teratur untuk membentuk unsur-unsur baru.

Berdasarkan definisi di atas, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa produktif merupakan sejumlah kegiatan yang dilakukan secara teratur dengan tujuan untuk menghasilkan sesuatu. Produktif itu identik dengan kegiatan yang melibatkan kerja sama seluruh anggota tubuh dan pikiran. Jadi, ketika kita tidak melakukan kegiatan apa-apa, kita termasuk dalam kategori kurang atau bahkan tidak produktif. Kita berusaha sekeras-kerasnya dengan tujuan untuk menghasilkan sesuatu. Sesuatu yang seperti apa? Tentunya, sesuatu dalam jumlah yang banyak atau besar yang bisa kita nikmati, seperti: uang, kedudukan, kesenangan, dan lain sebagainya. Itulah salah satu dari sekian banyak alasan mengapa kita berusaha untuk tetap produktif.

Berdasarkan kuantitas kegiatan masing-masing orang, maka tingkat produktivitas itu pun relatif. Secara pribadi, saya menilai tingkat produktivitas diri saya berdasarkan banyaknya kegiatan yang dilakukan dalam sehari. Jadi, jika saya punya banyak kegiatan dalam satu hari, artinya saya produktif. Itulah yang saya pikirkan tentang produktif. Bahkan, ada juga yang menganggap bahwa produktif itu ketika kita melakukan banyak hal di luar rumah, berkegiatan dengan orang lain dan sebagainya.

Dengan adanya pandemi COVID-19 yang mengharuskan kita tetap tinggal di rumah, beraktivitas di rumah, belajar di rumah, kerja di rumah, dan lain sebagainya, maka timbul pertanyaan seperti ini: apakah kita tetap produktif selama pandemi COVID-19 ini? Karena keterbatasan ruang gerak selama masa pandemi ini, tak jarang dari kita yang berusaha untuk melakukan bahkan menciptakan kegiatan yang bisa mengurangi rasa jenuh ketika berada rumah selama hampir 24 jam. Kita punya kesempatan mencoba hal-hal baru. Tujuannya bukan hanya sekadar mengurasi rasa jenuh, tetapi agar kita tetap termasuk dalam kategori produktif selama masa karantina di rumah saja.

Inilah sekilas gambaran yang produktif dilihat dari kacamata dunia. Sebagai orang Kristen atau sebagai orang percaya, bagaimana seharusnya kita memandang dan mendefinisikan istilah produktif? Pernahkah kita berpikir, apakah tujuan kita menjadi produktif hanya semata-mata untuk kita nikmati sendiri? Apakah hanya untuk kepuasan diri kita sendiri?

Ketika mengikuti salah satu sesi SABDA Live yang membahas tentang produktivitas, saya mendapat satu cara pandang baru. Inilah yang akan saya bagikan melalui blog ini. Dari sesi tersebut, ada dua hal penting yang saya garisbawahi berkenaan dengan produktif, yaitu orientasi dan kualitas. Mengapa saya fokus pada dua hal ini? Karena selama ini saya ada dalam cara pandang yang keliru. Fokus saya bekerja keras, berusaha menjadi orang yang “produktif” itu ya untuk saya sendiri, untuk kepentingan saya, dan supaya saya bisa menikmati hasilnya sendiri. Begitu juga, dengan kualitas. Saya mencoba melakukan banyak hal, tetapi tidak menyadari apakah yang saya lakukan itu hal yang benar atau tidak.

Firman Tuhan dalam Matius 22:36-40 “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” 22:37 Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan, hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah, tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Jika melihat konteksnya, jawaban Yesus ini ternyata berawal dari pertanyaan seorang ahli Taurat, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat? Yang bertanya ini, bukan orang biasa. Dia adalah seorang ahli Taurat. Expert dalam hal teori tentang hukum Taurat. Namun, motif dari pertanyaannya itu adalah untuk mencobai Yesus. Dia hendak mencari cara untuk menyalahkan Yesus. Dengan kata lain, itu adalah pertanyaan jebakan bagi Yesus.

Berdasarkan Firman Tuhan di atas, ada dua hal yang paling penting di dalam dunia ini:

  1. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, dan segenap akal budimu.
  2. Sama dengan itu (sama seperti hukum yang pertama) kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Jadi, semua hukum itu dasarnya ada pada kedua hal ini: Mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Hal unik yang saya dapatkan dari ayat ini adalah kita diperintahkan untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap akal budi. Kalau saya memparafrasa kalimat ini dengan versi saya sendiri mungkin akan seperti ini: kasihilah Tuhan Allahmu dengan sepenuh hati, jangan setengah-setengah, segenap jiwamu, bukan setengah-setengah, dan segenap akal budimu, termasuk pikiran, kehendak, kekuatan, semangat, passion, talenta dan pengetahuanmu.

Nah, artinya pikiran, semua kehendak, passion, semangat, kekuatan, talenta, dan pengetahuan itu harus didedikasikan kepada Tuhan dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa, dengan sungguh-sungguh, termasuk juga dengan waktu kita. Selanjutnya, mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Yesus berkata: “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu,” apa maksudnya? Ternyata, perintah mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi itu setara dengan perintah mengasihi sesamamu dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap akal budimu. Inilah mengapa saya katakan unik karena semua yang terutama dan yang terpenting adalah mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama itu porsinya sama.

Secara sederhana, keterkaitan produktivitas kita dengan kedua hukum ini adalah orientasi. Kembali ke pertanyaan sebelumnya, apakah tujuan kita menjadi produktif hanya semata-mata untuk kita nikmati sendiri? Apakah hanya untuk kepuasan diri kita sendiri? Ketika kita tahu bahwa yang terpenting dan utama dalam kehidupan kita sebagai orang yang percaya adalah mengasihi Tuhan dan sesama, maka kita pun tahu tujuan kita melakukan sesuatu.

Untuk siapa kita bekerja keras? Untuk siapa kita berusaha untuk tetap produktif? Jika kita masih menjawab pertanyaan ini dengan: “Untuk saya, untuk keluarga saya, untuk kesenangan saya, untuk masa depan saya, dan untuk saya, saya yang lain,” berarti kita masih harus kembali kepada kedua hukum yang terutama tadi. Seharusnya, orientasi kita melakukan sesuatu atau menghasilkan sesuatu itu bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi untuk Tuhan dan sesama. Inilah kebenarannya. Jika semua yang kita hasilkan melalui kerja keras itu hanya untuk kita sendiri, semuanya akan sia-sia.

Selanjutnya, produktivitas itu seharusnya fokus pada kualitas bukan kuantitas. Seperti yang sudah saya ungkapkan sebelumnya bahwa kebanyakan dari kita, termasuk saya sendiri, memandang produktivitas itu sama dengan melakukan banyak hal. Namun, satu hal yang mungkin kita abaikan atau bahkan sering kali terlupakan bahwa kualitas dari semua hal yang kita lakukan itu seperti apa. Kualitas di sini maksudnya adalah apakah kita sudah melakukan yang benar?

Kalau saya mengajukan pertanyaan berikutnya, mungkin akan seperti ini, apakah dengan semua kegiatan produktif yang kita lakukan itu, kita sudah melakukan yang benar? Inilah pertanyaan refleksi yang sangat menohok saya. Ternyata, kalau dipikir-pikir semua usaha yang saya lakukan selama ini sebagian besar lebih condong kepada nilai kuantitas saja. Tak ada gunanya kita sibuk melakukan banyak hal, tetapi pada akhirnya semua hal itu bukanlah apa yang benar, bukan apa yang Tuhan kehendaki.

Kita diibaratkan sebagai hamba yang sedang mengerjakan tugas yang dipercayakan oleh Tuan yang benar di dunia sesuai dengan talenta kita masing-masing. Akhirnya, kita akan berhadapan dengan Sang Tuan seperti yang digambarkan dalam Injil Matius 25:14-30 bahwa kita masing-masing akan mempertanggungjawabkan talenta-talenta yang telah diberikan itu. Jika kita mengembangkan talenta itu lewat hal-hal yang benar, tuan itu akan menjawab, “Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” Tidakkah kita ingin mendengar Tuhan berkata demikian kepada kita ketika dengan semua hal produktif yang kita lakukan? Secara pribadi, saya mau mendengar, Dia berkata, “Yurike, baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia; Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan-Ku.”

Apa yang harus kita lakukan kedepannya? Setelah mengetahui kebenaran ini, kita hendak diajak untuk kembali melihat orientasi hidup kita dan seberapa berkualitasnya hidup yang kita jalani. Kita tidak tahu sampai kapan kita bisa bertahan hidup di dunia ini, tetapi yang kita tahu adalah bagaimana kita bisa memaknai hidup ini. Itu pilihan kita. Memaknai waktu, talenta, pekerjaan, keluarga, hubungan, kesempatan, dan semua hal lain dengan benar. Kualitas hidup kita menentukan seberapa serius kita memaknai hidup ini. Orientasi hidup kita pun menentukan bagaimana kita mengasihi Sang Pemberi hidup dan sesama.

Kedua hal yang saya bagikan ini kiranya menjadi refleksi kita bersama dengan semua hal yang kita lakukan di dunia ini, terutama pada masa pandemi COVID-19 ini. Masa pandemi ini adalah kesempatan yang Tuhan beri bagi kita agar kita bisa kembali merevisi tujuan hidup dan fokus hidup kita. Kita semua pasti meyakini bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Everything happens for a reason. Tuhan punya tujuan khusus yang hendak Dia nyatakan melalui pandemi ini. Mintalah Dia agar menolong kita untuk mencari tahu kehendak-Nya dalam hidup kita.

“Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu.”

Tentang Penulis Tamu

telah menulis 197 artikel di blog ini..

Cetak tulisan ini Cetak tulisan ini
Comments (1) Trackbacks (0)
  1. Terimakasih banyak infonya sangat bermanfaat
    undangan magelang


Leave a comment

Connect with Facebook

No trackbacks yet.