Seminar LGBT @Griya Pelikan
Setelah mendapat pesan WhatsApp dari Setya yang menginformasikan adanya seminar LGBT yang akan diadakan di Griya Pelikan pada tanggal 23 Maret 2016, langsung saja saya menjadi antusias untuk mengikutinya. Topik LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) adalah topik yang marak dibahas dalam Medsos dan media cetak maupun elektronik selama 3 bulan terakhir, dan saya menjadi salah seorang yang rajin menyimak diskusi maupun perdebatan mengenai topik ini. Begitulah, akhirnya saya dan Setya datang mengikuti seminar ini, yang diadakan di Griya Pelikan mulai dari pukul 18.00 hingga 21.00.
Seminar dibawakan oleh Bapak Jusuf Tjahjo Purnomo, M.A, Psi., yang merupakan salah seorang staf pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Sebagai pembuka, beliau mengatakan bahwa meskipun ada berbagai isu terkait dengan topik pembahasan LGBT, yakni dari segi sosial dan hukum, psikologis, dan moral teologis, tetapi pembahasan malam itu hanya akan dititikberatkan dari segi psikologis yang sesuai dengan latar belakang pembicara sebagai dosen psikologi. Seminar kemudian dimulai dengan menyorot pada penyebab seseorang menjadi pelaku LGBT, yang hingga kini masih menjadi perdebatan dari banyak ahli dan kalangan, yakni apakah itu karena pengaruh nature (bawaan), nurture (dipelajari), atau malah kombinasi dari keduanya. Sejauh ini, masih belum ada kesimpulan atau jawaban yang jelas mengenai penyebab dari LGBT karena belum ada penelitian ilmiah yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan dari serangkaian penelitian yang sudah diterapkan. Pembicara sempat menyatakan meskipun ada penelitian yang menyatakan bahwa bagian otak dari pelaku LGBT berbeda dari otak pribadi yang heteroseksual, tetapi penelitian itu tidak menjawab apakah perbedaan tersebut menjadi sebab atau malah akibat dari kecenderungan seksual pelaku LGBT.
Pembahasan kemudian beralih pada konsep normal dan abnormalitas perilaku LGBT. Normal atau tidaknya suatu perilaku pada umumnya dinilai oleh masyarakat sebagai pengawas/hakim pada perilaku anggota masyarakatnya. Secara fakta, komunitas LGBT adalah komunitas yang memiliki distribusi kecil dalam statistik normalitas, alias ditentukan sebagai komunitas yang tidak normal secara seksual. Mengapa tidak normal? Karena jumlah mereka yang jauh lebih sedikit dibanding perilaku masyarakat umumnya yang bersifat heteroseksual. Namun, perlu dicatat bahwa apa yang dianggap normal atau dapat diterima dalam setiap komunitas masyarakat bersifat relatif, bukan mutlak. Artinya, apa yang dianggap tabu atau buruk dalam sebuah komunitas, bisa jadi dianggap wajar dalam sebuah komunitas di satu wilayah atau negara. Budaya sunat perempuan misalnya, yang dianggap sebagai perilaku tradisi yang kejam di banyak negara barat, ternyata menjadi sebuah perilaku yang justru dapat berakibat pada pengucilan anggotanya jika tidak dilakukan dalam budaya sebuah komunitas di NTT. Nah, fenomena yang sama rupanya terjadi juga bagi komunitas LGBT, yang pada awalnya dianggap sebagai komunitas minor, tabu, dan ditolak di berbagai wilayah di dunia.
Pada tahun 1992, WHO sudah menyatakan bahwa perilaku homoseksual bukanlah sebuah penyakit atau gangguan, berdasarkan dari konsep medis atau psikologis. Perilaku LGBT disepakati sebagai sebuah deviasi atau penyimpangan, merujuk pada konsep norma sosial, karena para pelakunya melakukan tindakan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat secara umum. Namun, menariknya, dalam abad ini sikap masyarakat terhadap persoalan LGBT dapat sangat berbeda-beda di setiap tempat dan negara yang disebabkan karena setiap tempat dan negara memiliki budaya, pola pikir, juga landasan teologis yang berbeda satu sama lain. Perilaku LGBT yang dianggap tidak normal di beberapa negara, termasuk Indonesia, kenyataannya telah diterima dengan baik bahkan dianggap sebagai sebuah gaya hidup yang normal di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Dan, pengakuan dari WHO ternyata kian menjadi dasar yang kuat bagi kaum LGBT untuk semakin mengukuhkan diri sebagai komunitas yang normal dan tidak berbahaya seperti penyakit menular. Pada akhirnya, penerimaan LGBT sebagai sebuah gaya dan pilihan hidup beserta legalitas di berbagai aspek kehidupan menjadi agenda besar dari komunitas LGBT di seluruh dunia. Advokasi, perjuangan melalui jalur hukum, media, isu-isu HAM, menjadi cara-cara yang dilakukan dalam pergerakan LGBT agar komunitas mereka semakin mendapat tempat dalam masyarakat, serta mendapat pengakuan legal dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dari gereja dan kaum spiritual. Ironis.
Sayang sekali, pembicara tidak menutup acara seminar dengan topik yang kontroversial ini dengan kesimpulan yang tajam. Meskipun cukup banyak informasi yang kami terima, tetapi saya pribadi merasa tidak ada pesan yang digemakan dengan cukup dalam melaluinya, yang dapat membuat seluruh peserta seminar pulang tidak hanya dengan sekadar informasi baru, tetapi juga dengan sebuah kesadaran dan pemahaman yang baru untuk lebih bersikap kritis. Bagi saya, itu menjadi sebuah poin penting karena saat ini gereja tengah mengalami tantangan zaman, salah satunya dengan isu LGBT, sehingga setiap orang percaya seharusnya memiliki pemahaman dan sikap kritis yang benar dalam menyikapinya.
Anyway, tetap senang bisa datang ke acara-acara semacam ini, dan saya menantikan topik seminar lainnya dari Griya Pelikan dalam waktu-waktu yang akan datang. So, see you next time with another topics and issues 🙂
Cetak tulisan ini
Leave a comment