theapprenticeSatu keistimewaan yang saya rasa unik di YLSA adalah metode-metode pelatihan yang diberikan untuk pengembangan stafnya — tidak hanya dengan mengikuti seminar di luar kantor atau diskusi dan presentasi di dalam kantor, tapi juga mendengarkan kaset, bahkan menonton film. Seingat saya, sudah ada beberapa film yang kita tonton bersama, misalnya seri TV “CSI” (Crime Scene Investigation), “The West Wing”, “Dr. House”, dan film-film lain seperti “Touching The Void”, “Miracle”, “Dangerous Mind”, dll.. Setelah menonton, maka kita berdiskusi dan semua akan ditanya dengan pertanyaan yang paling sering terdengar di YLSA: “Belajar apa?” Nah, dari hasil diskusi bersama itu kita jadi belajar banyak, lebih banyak daripada kalau belajar sendiri.

Pada tanggal 7 Mei – 3 Juni 2009, (saya, Kusuma Negara, Risdo, Budi, Titus, Billy, Yuppi, Dian, dan Eviriyanti) dan beberapa minggu pada bulan Agustus 2009 (Ratri, Kristin, Anik, Tatik, Setyo, Ivana, Rian, Theo, Novi, dan Dustin) mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan mengenai kerja tim dan kepemimpinan dari menonton reality show yang sudah sangat terkenal, yaitu “The Apprentice”. Saya yakin sudah banyak yang pada tahu, jadi saya ringkaskan saja intinya, bahwa selama 16 minggu berturut-turut, melalui tugas-tugas proyek mingguan yang diberikan, kita melihat 16 kandidat “the apprentice” satu per satu berguguran (dipecat), tersingkir dari persaingan untuk menjadi “penerus” dari perusahaan Donald Trump. Yang terakhir tidak dipecat adalah pemenangnya. Nah, apa yang saya pelajari dari melihat proses “pemecatan” ini?

Saya bisa memberikan beberapa poin pelajaran yang saya dapatkan, tapi saya berharap rekan-rekan lain yang ikut dalam pelatihan ini bisa menambahkan juga, ya.

Pertama, bagaimana mengelola emosi ketika menghadapi konflik dalam tim. Konflik intrapersonal sering tidak dapat dihindari, tapi jangan sampai konflik itu membuat kinerja kita menjadi buruk. Tetaplah fokus dengan apa yang kita kerjakan dan selesaikan konflik dengan baik supaya tidak lagi menjadi batu ganjalan.

Kedua, bagaimana menjaga “passion” (hasrat dan gairah) dalam bekerja, sehingga membuat kita gigih dan tidak gampang menyerah ketika menghadapi kesulitan. Kalau tidak ada “passion”, maka kita tidak bisa memberikan totalitas, baik dalam memberikan ide, waktu, pemikiran, dan hati, untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Ketiga, pentingnya bekerja dalam tim — hasil kerja banyak kepala lebih baik daripada satu kepala. Tapi untuk berhasil bekerja dalam tim, kita harus saling percaya sehingga proses pendelegasian bisa dilaksanakan dengan baik. Juga harus ada “monitoring” dan komunikasi supaya hasilnya bisa dipastikan baik.

Wah, masih banyak pelajaran lain, tapi saya percaya rekan-rekan lain bisa menambahkannya. Yang pasti, pelajaran yang didapatkan dari pelatihan ini dapat diaplikasikan di YLSA supaya dampaknya bisa dirasakan bagi pengembangan pelayanan kekristenan di Indonesia. Ayo, rekan-rekan yang lain, apa saja pelajaran yang kalian dapat dari “The Apprentice”? Tulis di komentar, ya ….