Pengalaman Berharga Saat di Malaysia
Pergi ke luar negeri sempat menjadi mimpi saya. Puji Tuhan, tahun ini, Tuhan mewujudkannya. Penasaran dengan ceritanya? Baca ya … 🙂
“Yey, aku di Malaysia.” Itulah salah satu luapan kebahagiaan saya ketika sampai di Malaysia. Meski kebanyakan orang bilang, “Malaysia itu dekat kok,” tetapi bagi saya tetap jauh … ‘kan ke luar negeri … hehe. Memutuskan pergi ke Malaysia ini bukanlah hal yang mudah bagi saya, sebab saya belum pernah meninggalkan suami dan anak saya yang masih TK selama beberapa hari. Namun, semuanya bisa Tuhan atur dengan baik. Tuhan sungguh hebat!
Bermula dari sharing Ibu Yulia kepada kami bertiga (Mbak Evie, Mbak Elly, dan saya) tentang rekan pelayanannya di Malaysia yang butuh bantuan tenaga untuk membersihkan rumah retret miliknya. Lalu, Ibu Yulia berencana menawarkan kesempatan ini kepada beberapa staf lainnya, dan kami menyetujui idenya. Setelah berdiskusi dengan beberapa staf, akhirnya ada delapan orang yang akan berangkat ke Malaysia. Delapan orang ini adalah Ibu Yulia, Pak Pram, Mas Danang, Hadi, Nikos, Mbak Evie, Mbak Elly, dan saya. Yang membuat saya heran, para wanita yang berangkat ke Malaysia ini adalah ibu-ibu … hehe. Memangnya dibolehin suami ya untuk pergi ke luar negeri tanpa mereka? Dibolehin tuh … hehe. Wow … excellent! Awalnya, saya tidak berharap banyak sih, soalnya anak saya masih kecil, apalagi suami kerjanya sering pulang malam. Namun, kali ini hal perizinan ini justru mulus-mulus saja. Suami mengizinkan, tempat kerja suami memberi kelonggaran jam kerja, dan suami merelakan diri menjadi “single parent” selama 5 hari. Saya percaya, Tuhan sudah mengaturnya.
Persiapan pertama adalah membuat paspor, dan ini merupakan pengalaman pertama saya. Puji Tuhan, saya mengalami kelancaran dalam proses ini … yey!! Meski ada beberapa teman yang mengalami sedikit kendala, tetapi pada akhirnya mereka bisa lulus juga sehingga kami semua sudah memiliki paspor pada awal Mei. Selama Mei, kami mengadakan beberapa kali rapat untuk persiapan ke Malaysia, dan akhirnya kami memutuskan untuk melakukan retret dan membantu membersihkan rumah retret di sana. Materi-materi selama retret akan disiapkan oleh Ibu Yulia, berupa materi kepemimpinan dan konseling.
Kami berangkat ke Malaysia pada 22 Mei 2019 dari bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang. Bersyukur sekali karena perjalanan kami lancar, dan setibanya di bandara Malaysia kami dijemput oleh Pak James, kenalan salah satu rekan SABDA di Malaysia. Perjalanan pertama kami akan menuju ke rumah retret “The Cleft” yang terletak di Bukit Tinggi. Meski sempat ada tragedi kesasar, tetapi kami bersyukur karena akhirnya kami bisa sampai ke tempat tujuan dengan selamat. “Yey … kami pun bertemu dengan Ibu Lilian dan Pak Chai Hok!” Kesan pertama saya adalah mereka berdua sangat ramah dan baik hati. Inilah keajaiban kedua yang saya rasakan — bertemu sepasang hamba Tuhan yang sangat berkesan di hati saya. Padahal, saya belum berbicara dengan mereka, belum akrab, tetapi kesan itu sudah terasa. Selama di “The Cleft”, kami diterima dan dilayani dengan baik oleh mereka. Mereka berdua, yang akhirnya kami panggil dengan budhe dan pakde, punya kasih yang begitu hangat sehingga ketika berada di dekat mereka, saya merasa nyaman. Selama di “The Cleft”, saya menikmati hampir semua kegiatan yang dilakukan, mulai dari PA, training, bersih-bersih, berelasi, makan bersama, menikmati alam, jalan-jalan ke pasar, bermain di sungai, sampai membantu budhe memasak. Karena “The Cleft” tempatnya di tengah-tengah hutan dan susah sinyal, hidup saya menjadi lebih tenang, tidak diganggu suara “cling-cling” dari notifikasi HP … hehe. Namun, tentu bagaimanapun, hati ini tetap kangen juga sih mendengar kabar dari keluarga di rumah.
Keajaiban ketiga yang saya temukan adalah selama di “The Cleft”, Tuhan banyak menyelisik hati saya, terutama melalui PA dan materi konseling tentang rasa takut yang tidak sehat. Ada banyak ketakutan “kecil-kecil” dalam hidup saya, dan pada saat itu saya belajar untuk bisa menyerahkannya kepada Tuhan. Sebab, akar dari semua ketakutan saya adalah karena saya tidak percaya bahwa Allah berkuasa. Selain itu, ada juga rasa takut yang “tidak sehat” — yang sering mencengkeram hidup saya. Sudah lama, saya ingin terbebas dari perasaan-perasaan takut semacam ini, yang membuat hidup saya sulit maju. Puji Tuhan, selama di Malaysia, saya belajar tentang sembilan hal untuk mengatasi rasa takut yang tidak sehat:
- Memelihara iman.
- Tidak mencemari diri dengan hawa nafsu.
- Percaya janji-janji Allah.
- Semangat dalam berdoa.
- Menyangkal diri.
- Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang pantas.
- Mengarahkan mata kepada Tuhan.
- Mengingat kebaikan Allah.
- “Jangan takut” adalah perintah Tuhan.
Saya berharap bisa menerapkannya satu per satu dalam kehidupan saya.
Dalam sesi training kepemimpinan, saya juga belajar banyak hal tentang kepemimpinan. Bersyukur sekali, di tengah-tengah rasa lelah saya akhir-akhir ini, ada banyak masukan dari teman-teman untuk menolong saya. Semoga saya berani melakukan perubahan dalam hidup saya. Sungguh, kesempatan pergi ke Malaysia ini meninggalkan banyak kesan dan pelajaran berharga untuk menjalani hari-hari depan dengan lebih baik lagi. Senang juga karena bisa pergi ke Twins Tower, Batu Cave, dan Kasturi Walk. Eits, masih ada pengalaman yang tak terlupakan nih. Kami sempat berlari bolak-balik dari kantor imigrasi ke gate pesawat supaya tidak terlambat (padahal jaraknya jauuuuhhhh sekali), tetapi ternyata kami memang terlambat. Kami lemas …, tetapi ada yang langsung dengan sigap mencari Ibu Yulia (karena saat kami berlari, beliau masih antre di kantor imigrasi), ada juga yang melihat jadwal tiket penerbangan berikutnya. Tentunya, hasil akhir perjalanan kami ini memberikan pelajaran berharga dalam hidup kami, dalam banyak hal. Thanks God.
Cetak tulisan ini
Leave a comment