“Lent” pada Era Digital: Menemukan Kedekatan dengan Tuhan di Tengah Teknologi

Lent selalu menjadi waktu yang istimewa bagi saya. Masa 40 hari sebelum Paskah ini bukan hanya tentang berpuasa atau sekadar tradisi, tetapi juga tentang waktu refleksi dan kedekatan dengan Tuhan. Namun, pada era digital/AI ini, tantangannya semakin besar. Notifikasi yang sering bermunculan, kebiasaan scrolling media sosial, dan kesibukan sehari-hari sering membuat momen refleksi spiritual terasa semakin sulit dilakukan.
Ketika mengikuti seminar #AITalks: AI dan Lent, saya mendapat banyak wawasan baru. Salah satu poin yang sangat mengena adalah bagaimana teknologi bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi, termasuk AI, dapat menjadi alat yang luar biasa untuk mendukung pertumbuhan iman. Namun, di sisi lain, jika kita tidak bijaksana dalam menggunakannya, teknologi bisa menjauhkan kita dari Tuhan; menggantikan waktu-waktu berharga yang seharusnya kita gunakan untuk berdoa; membaca firman; dan bersekutu dengan-Nya.
Salah satu konsep menarik yang dibahas dalam acara ini adalah digital fasting (puasa digital). Sejujurnya, ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Saya sering merasa sulit untuk benar-benar lepas dari ponsel, terutama karena pekerjaan dan interaksi sosial banyak dilakukan secara digital. Meski begitu, sempat terpikir juga, “Bagaimana mungkin saya bisa mendekat kepada Tuhan jika saya terus-menerus terganggu oleh layar di depan saya?”
Saya pun mencoba mempraktikkan puasa digital dengan cara sederhana: menonaktifkan notifikasi, membatasi penggunaan media sosial, dan menyediakan waktu khusus untuk berdoa tanpa gangguan teknologi. Hasilnya sungguh mengejutkan. Puji Tuhan! Dalam ketenangan itu, saya merasa lebih mampu merenungkan firman Tuhan dengan lebih dalam. Saya sadar kalau selama ini sering membiarkan teknologi mengambil alih waktu-waktu terbaik saya, yang seharusnya bisa dipakai untuk bertumbuh dalam iman.
Oh ya, saya juga belajar bahwa teknologi bisa menjadi alat yang sangat membantu jika digunakan dengan bijak. Salah satu contoh yang menarik adalah penggunaan BaDeNo (Baca, Dengar, Nonton) yang membantu saya dalam membaca Alkitab secara lebih interaktif. Saya juga mencoba menggunakan Alkitab GPT, dan ternyata AI ini dapat membantu saya memahami ayat-ayat Alkitab dengan lebih mendalam serta memberikan refleksi yang menarik. Saya pun menyadari bahwa bukan teknologinya yang salah, tetapi bagaimana saya menggunakannya yang menentukan dampaknya dalam kehidupan rohani saya.
Pelajaran paling mengena yang saya dapat dari seminar ini adalah pentingnya keseimbangan antara disiplin rohani dan penggunaan teknologi. AI dan digital tools bisa sangat membantu, tetapi saya harus bijaksana dalam menggunakannya. Saya juga belajar bahwa relasi dengan Tuhan bukanlah sesuatu yang bisa digantikan oleh teknologi. Meski AI bisa memberikan tafsiran Alkitab dan menjawab pertanyaan, tetapi pengalaman pribadi berkomunikasi dengan Tuhan melalui doa dan merenungkan firman-Nya secara pribadi tetap tidak bisa tergantikan.
Masa Lent ini memberi saya kesempatan untuk kembali menata ulang prioritas saya. Saya ingin lebih bijaksana dalam menggunakan teknologi dan memanfaatkannya untuk bertumbuh dalam iman. Saya juga perlu menetapkan batasan agar teknologi tidak menjadi hambatan dalam perjalanan rohani saya. Saya ingin menggunakan waktu ini untuk semakin dekat dengan Tuhan, bukan hanya dengan cara-cara tradisional, tetapi juga dengan memanfaatkan teknologi secara bijaksana.
Bagaimana dengan Sahabat SABDA? Apakah Sahabat SABDA punya pengalaman terkait teknologi yang terkadang mengganggu waktu refleksi rohani Anda? Atau, justru Sahabat SABDA sudah menemukan cara untuk memanfaatkannya demi pertumbuhan iman? Mari jadikan masa Lent ini sebagai waktu untuk merenungkan hubungan kita dengan Tuhan, mengurangi distraksi, dan menemukan makna sejati dalam persiapan menuju Paskah. Yuk, jangan lewatkan simak arsip video #AITalks: AI dan Lent!

Leave a comment