Blog SABDA
20Jul/200

+ED TALK “STOICISM – Filosofi Stoa”

Oleh: Yurike

Shalom Sahabat SABDA. Senang bisa menyapa Anda melalui tulisan ini. Saya berharap kita tetap dalam keadaan baik dan bahagia. Pada kesempatan ini, saya akan berbagi lagi tentang stoicism atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah stoa. Untuk disclaimer, banyak artikel atau video yang berkaitan dengan Stoicism. Namun, saya hanya merujuk pada beberapa referensi.

Saya akan mulai dengan sejarah singkat filosofi Stoa. Berdasarkan beberapa artikel yang terkait, filosofi ini lahir di Yunani dan berkembang dari tahun 2.300 SM – 200 M. Filosofi ini sangat populer pada zamannya dan juga masih sangat relevan dengan zaman sekarang ini. Filosofi ini didirikan oleh seorang bernama Zeno of Citium pada zaman Yunani kuno, khususnya pada periode Hellenistik.

Mengapa filosofi ini populer? Karena filosofi ini relevan dengan semua orang dan tidak bertentangan dengan ideologi lain. Ada tiga orang yang memomulerkan filosofi ini, mereka adalah Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Mereka bertiga bergerak dalam bidang yang berbeda-beda. Misalnya, Marcus Aurelius adalah seorang kaisar Romawi. Seneca adalah stateman (mungkin sama dengan pejabat politik di Roma), dan juga pernah menjadi senator atau penasihat di kekaisaran Roma. Sementara itu, Epictetus adalah seorang budak yang tersiksa selama hidupnya. Namun, akhirnya dia bisa mengajarkan filosofi stoicism kepada masyarakat. Orang-orang penganut paham stoicism disebut sebagai stoic.

Apa sih prinsip stoicism itu? Ada satu video yang membahas prinsip-prinsip stoicism ini. Stoicism mempunyai empat prinsip yaitu:

  1. Tuhan (dalam bentuk dan wujud apa pun) akan selalu peduli kepada semua makhluk hidup.
  2. Hidup dalam kebijaksanaan itu penting untuk kebahagiaan kita.
  3. Kita harus hidup harmonis dengan alam karena alam semesta itu bekerja dengan sangat harmonis.
  4. Semua yang terjadi pasti ada alasannya. Artinya, hal baik atau buruk itu sudah diatur oleh satu kekuatan yang lebih besar dari alam semesta ini.

Lebih lagi, filosofi ini berpandangan bahwa ada beberapa hal yang bisa kita kontrol, tetapi ada juga yang tidak bisa kita kontrol. Satu-satunya hal yang bisa kita kontrol sepenuhnya adalah penilaian kita terhadap apa yang baik. Pada dasarnya, tidak ada batasan rasional menjadi tidak bahagia mengenai banyak hal yang tidak dapat kita ubah. Jika kita menginginkan uang, kesehatan, atau reputasi, kita pasti tidak akan bahagia. Jika kita pun ingin menghindari kemiskinan, kesakitan, kesepian, ketidakjelasan atau sebagainya, kita akan terus-menerus hidup dalam kekhawatiran dan frustrasi. Bayangkan jika kita menghabiskan waktu untuk dan energi untuk mengkhawatirkan tentang apa yang orang lain pikirkan, suka (atau tidak suka), katakan (atau tidak katakan) tentang kita.

Kita juga khawatir tentang apa yang mungkin akan terjadi pada masa depan (tetapi kadang-kadang juga tidak terjadi), ataupun apa yang tidak bisa kita ubah pada masa lalu. Semuanya itu dapat membuat kita tidak bisa sepenuhnya fokus pada apa yang bisa kita ubah saat ini. Hal yang ditekankan oleh para penganut pandangan ini adalah bahwa inner character (kebajikan atau kebijaksanaan) manusia itu yang paling penting dan baik, dan bisa dihargai dan dikejar oleh semua orang. Salah satu contoh sederhana berkenaan dengan pandangan ini adalah misalnya ketika kehilangan dompet. Bagaimana respons orang yang rasional? Mereka tidak akan langsung marah-marah, sebaliknya akan berpikir lagi apa yang menyebabkan dompetnya hilang? Apakah dompetnya itu benar-benar hilang atau mungkin ketinggalan di tempat lain, ataukah karena kecerobohannya sendiri dan sebagainya.

Stoicism akhir-akhir ini telah digambarkan sebagai salah satu mind hack terbaik yang pernah ditemukan atau diciptakan. Nah, berdasarkan bahasan yang sangat singkat di atas, saya menyimpulkan bahwa kebahagiaan kita bergantung pada apa yang kita pikirkan. Jika kita berpikir untuk tidak bahagia, pastinya kita tidak akan bahagia. Pengontrolan diri atas apa yang kita pikirkan akan membuat kita merasa semakin bahagia karena kita tahu bahwa apa pun yang terjadi di bawah kolong langit ini pasti ada alasan yang menyertainya.
Kita tidak bisa mengendalikan segala sesuatu, tetapi kita bisa mengendalikan apa yang kita pikirkan.

Tentang Penulis Tamu

telah menulis 179 artikel di blog ini..

Cetak tulisan ini Cetak tulisan ini
Comments (0) Trackbacks (0)

No comments yet.


Leave a comment

Connect with Facebook

No trackbacks yet.