Blog SABDA
13Jan/154

Berkunjung ke Rumah Mbah Parikem

Dalam rangka merayakan ulang tahun YLSA ke-20, YLSA mengadakan acara bakti sosial. YLSA berinisiatif untuk melakukan kunjungan ke beberapa keluarga staf YLSA yang sudah sepuh, baik itu orang tua, saudara, maupun eyang dari staf. Karena itu, Mas Bayu, sebagai penanggung jawab kegiatan ini, membagi semua staf ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok akan berkunjung ke keluarga staf sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kelompok saya, yang terdiri atas Mbak Evie, Mas Benny, dan Mbak Wiwin, adalah kelompok terakhir yang dijadwalkan untuk melakukan kunjungan, yaitu pada hari Sabtu, 20 Desember 2014. Pada hari itu, tepatnya pukul 09.30 WIB, kami berkumpul di kantor. Setelah semua siap, kami menuju ke kos Mbak Setya untuk menjemputnya karena hari itu kami akan berkunjung ke rumah nenek Mbak Setya.

Rumah nenek Mbak Setya berada di desa Mundu, yaitu di Jl. Solo-Purwodadi. Setibanya di sana, nenek sedang menjemur pakaian di pekarangan rumah. Pekarangan rumahnya cukup luas. Ada beberapa pohon mangga dan beberapa jenis bunga yang ditanam. Kami masuk rumah dan duduk lesehan di atas tikar. Seperti orang tua pada umumnya, beliau dengan repotnya mempersiapkan segala sesuatu yang bisa dihidangkan untuk kami.

Saat untuk berbincang-bincang dengan neneknya Mbak Setya pun tiba. Karena pendengaran nenek sudah berkurang, kami pun mengobrol dengan sedikit usaha, yaitu berbicara keras tepat di telinganya. Hal menarik dari nenek Mbak Setya ini adalah beliau sering dimintai tolong oleh tetangga sekitar untuk memijit. Kami pun mendapat kesempatan untuk merasakan betapa lembut telapak tangannya. Ketika mengobrol, karena kami harus sangat mendekat kepadanya, dengan sendirinya tangannya memijit tangan kami atau bahu kami. Ya puji Tuhan, kami berkunjung ke tempat yang tepat karena tidak hanya mendapat banyak pelajaran dari kehidupan nenek Mbak Setya, tetapi kami juga bisa melepas rasa lelah dengan menikmati uluran-uluran tangannya yang memijit kami.

Eeeeeee lupa, setelah mengobrol banyak hal, kami lupa belum menanyakan siapa nama nenek Mbak Setya ini. Karena itu, saya pun bertanya, “Simbah namine sinten?” (“Nenek namanya siapa?”) dengan bahasa Jawa halus yang pas-pasan. Sang nenek menjawab, “Parikem”, kemudian kami pun juga memperkenalkan diri satu per satu. Setelah kami dijamu makan siang oleh Mbah Parikem, yaitu tahu yang dibumbu kecap, masakan Mbah Parikem sendiri, kami pun bersiap pulang. Sebelum pulang, kami menyanyikan satu lagu Natal (S’lamat-S’lamat Datang) dan mendoakan Mbah Parikem.

Saya pribadi belajar banyak hal dalam kehidupan Mbah Parikem, salah satunya adalah kesetiaan beliau kepada Tuhan di tengah segala keterbatasannya. Memang, beliau memiliki keterbatasan dalam hal pendengaran, tetapi beliau rajin pergi ke gereja dengan naik angkutan umum dan terus bersemangat untuk beribadah di gereja. Terima kasih atas kesempatan ini, saya bisa berkunjung ke rumah Mbah Parikem. Semoga acara bakti sosial ini bukanlah kesempatan satu-satunya untuk berkunjung ke rumah beliau dan juga ke rumah orang tua dari staf YLSA lainnya.

Mei

Tentang Mei

Mei Fitriyanti telah menulis 7 artikel di blog ini..

Cetak tulisan ini Cetak tulisan ini
Comments (4) Trackbacks (0)
  1. Seorang nenek pasti begitu ya… Sayang sama semua anak muda. Nenek saya dulu juga begitu. 🙂

  2. Iya setuju! Di tengah segala keterbatasannya, beliau tetap mau melayani dan memberikan yang terbaik apalagi ga cuma disajikan makanan dan minuman, tapi dipijetin pula :D.

    • Ade,

      Kalau nenekku ini kebiasaannya gitu ko.. tanggannya selalu tergerak untuk memijat.. haha

      Kebiasaannya yang lain adalah terus-menerus meminta kita memakan apa yang ditawarkannya. Kalau tidak dia akan mengambilkan makanan itu dan meletakkannya di tanganmu atau pangkuanmu. Aku bisa tambah gemuk kalau tinggal di rumah nenek lama-lama. :p


Leave a comment

Connect with Facebook

No trackbacks yet.