Blog SABDA
24Jan/125

Training Menulis Cepat di YLSA

Tidak seperti training-training kepenulisan yang biasa dilaksanakan oleh Divisi Publikasi setiap hari Kamis, training kepenulisan kali ini berbeda dari biasanya. Mengapa? Begini ceritanya.

Ada staf YLSA yang dulu menghadiri seminar kepenulisan yang diadakan oleh PapirusYayasan Gloria, di Yogyakarta. Sebagaimana diwajibkan di YLSA, kalau ada staf yang ikut seminar, maka sepulang dari seminar dia harus bisa membagikan pengetahuan, pengalaman dan berkat yang didapat dari seminar itu kepada semua staf lain yang tidak ikut.

Oleh-oleh yang dibawa sepulang dari mengikuti pelatihan menulis di Papirus menurut saya cukup menarik. Salah satu berkat yang dibagikan adalah tentang “Menulis Cepat”. Menulis cepat? Apaan tuh? Apakah berarti ada menulis yang tidak cepat? Apa bedanya menulis cepat dan menulis tidak cepat? Pertanyaan ini sempat terlintas dalam benak saya.

“Menulis adalah sebuah kebiasaan…”. Menulis cepat itu seperti halnya belajar naik sepeda atau belajar berenang. Agar bisa mahir naik sepeda atau berenang, maka kita harus sering berlatih. Ketika kita sudah trampil naik sepeda atau berenang, maka ketrampilan tersebut tidak akan pernah hilang, tapi bisa menjadi ‘karatan’ kalau jarang dilakukan. Teknik terbaik untuk membangun kebiasaan menulis adalah dengan menulis cepat. Mengapa? Pertama, ide itu bagaikan angin — mudah datang dan mudah hilang. Kedua, untuk menjadi penulis andal, maka perlu proses pembiasaan — semakin banyak dipakai semakin mudah mendapatkan ide untuk diutak-atik, ditambahi, dikurangi, diperkaya, dll.. Ketiga, menulis cepat dapat menolong kita untuk bisa lebih fokus.

Sebagai aplikasinya, maka kami diberi tugas untuk mempraktikkan latihan menulis cepat. Idealnya, 30 menit setiap hari selama 30 hari, kita diminta untuk berlatih menulis sendiri — menulis apa saja, tidak usah terlalu dipusingkan apa yang kita tulis, apakah kalimat yang kita tulis nyambung dengan kalimat yang lainnya, jangan memusingkan masalah EYD (ejaan yang disempurnakan), apakah tata bahasanya benar, dll., pokoknya menulis apa saja. Dengan “semangat 45”, beberapa rekan yang mengikuti training, langsung mau berkomitmen untuk melakukan latihan menulis cepat ini. Saya secara pribadi agak mikir-mikir, “Ikut apa gak, ya?” Terus terang, saya khawatir tidak bisa mendisiplin diri untuk setiap hari menulis selama 30 menit selama 30 hari karena saat itu saya memiliki banyak kegiatan di gereja. Tapi akhirnya, saya memutuskan untuk ikut juga (walaupun dengan sedikit dipaksa dan tidak terlalu yakin :)).

Setelah dijalankan, saya mengambil kesimpulan bahwa ternyata menulis itu bukan hal yang sulit. Kita bisa menulis apa saja dan kapan saja, entah ketika suasana hati kita sedang senang, atau baru kesal dengan orang lain, atau sedang pusing memikirkan pekerjaan kantor, pokoknya dalam situasi apa saja. Tapi yang paling sulit adalah mendisiplin diri untuk menulis 30 menit setiap hari selama 30 hari. Hasil praktik saya, masih banyak yang “bolong-bolong” :). Eh, tapi bukan cuma aku lho, yang tidak disiplin, teman-teman yang lain juga pada “bolong-bolong” (membela diri sendiri :))… Doakan semoga kami, terutama tim penulis YLSA, bisa terus disiplin belajar menulis, supaya talenta yang Tuhan berikan ini semakin terasah.

Novi

Tentang Novi

Novita Yuniarti telah menulis 8 artikel di blog ini..

Cetak tulisan ini Cetak tulisan ini
Comments (5) Trackbacks (0)
  1. Seru, menulis cepat selama 30 menit. Apa saja yang ada di dalam pikiran ditulis saja. Bahkan saat sudah tidak ada ide, tulis saja, “Wah sudah tidak ada ide lagi…” dst. Pokoknya jangan berhenti selama 30 menit. Lumayan, menulis cepat selama 30 menit bisa menghasilkan 7000-an karakter.

    Ya, sama dengan, Novi, tidak cukup disiplin setiap hari hehehe ….

  2. Ketika disuruh mempraktikkan selama 30 hari … agak ragu sih, bisa tidak ya, bisa tidak ya … 😀

    Setelah dicoba … menyenangkan. Bisa meluapkan apa pun yang dipikirkan, dirasa, dilihat. Apalagi saat lagi emosi, wah ngetik di keyboardnya bisa sampai ribut banget … biar tambah plong (lega) rasanya (kasihan keyboardnya … hehe).

    Saya sendiri tidak sampai full 30 hari menulis cepat. Paling hanya 2 mingguan saja. Tapi dampaknya memang bagus kok. Selain mendisiplinkan diri, belajar menulis dan berpikir cepat, juga bisa sebagai terapi psikologis. Cobain deh … 🙂

  3. Andai diadain di Jakarta, saya pasti ikut. Saya mau memastikan kebiasaan “memulai blog baru”. Bikin blog, mati (lama tak diisi), lalu bikin baru (bisa di layanan yang sama, atau pindah ke tempat lain).

    Sama seperti latihan lainnya, kalau dilakukan bersama-sama pasti api semangat tetap terjaga. Tetap semangat ya para peserta tantangan menulis 30 menit selama 30 hari.

    PS: Saya mau coba ah mulai hari ini! Doakan saya yaaaa ^___^v

  4. @Tiyo:
    Semangat juga Pak Tiyo!! 😀
    Mari melatih sekaligus memaksa diri untuk menulis 30 menit setiap hari …. semoga berhasil Pak! Saya doakan 🙂

  5. Seru juga waktu mempraktikkan menulis cepat itu (meski “bolong-bolong” juga sih). He5.

    Pada awalnya sering tergoda untuk menyunting selagi menulis, tapi lama-lama sukses mengabaikan tanda baca, EYD, huruf besar, dsb. demi mengejar irama ide di kepala. Terkadang, malah keterusan. Dari beberapa draf awal, setidaknya dua sudah saya kembangkan menjadi tulisan jadi.

    Hmm, jadi pingin nyoba lagi, setidaknya tiap akhir pekan.


Leave a comment

Connect with Facebook

No trackbacks yet.