Blog SABDA
25Sep/092

Ayah

ayahLidahku kelu saat harus mengucapkan, “Saya minta ijin pulang, ayahku sakit keras.”

Ayah bukan sekedar sakit keras, ia sudah memanggil namaku. Aku harus melihatnya sebelum ia menghembus nafas terakhir. Stroke pertama, aku tidak datang; stroke kedua, juga tidak datang. Apakah aku juga harus terlambat saat ia menghembuskan nafas terakhir?

Akhirnya setelah beberapa kali menarik nafas, dengan terpatah-patah kata-kata itu keluar dari mulutku. Bu Yulia mengerti bahkan membantuku mencarikan tiket untuk pulang ke Kalimantan. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa dalam keadaan seperti ini.

***

Jumat, 14 Agustus adalah hari yang tidak bisa aku lupakan. Tepat jam dua belas aku keluar dari Bandara Cilik Riwut Palangkaraya. Saudara-saudaraku sudah menunggu di mobil charteran.

Baru aku masuk mobil, kakak tertuaku berkata, “Kakeknya Diaz sudah tidak ada.”

Diaz itu anak kakakku.

“Tepat jam dua belas tadi,” lanjutnya.

Perjalanan yang tidak akan terlupakan. Awalnya semua diam, shock mendengar berita itu. Nyai, adik bungsuku langsung menelpon saudara kembarnya. “Suara Mantuh tenang sekali, aku juga jadi tenang,” katanya. Kedekatan anak kembar sering membuatku terheran-heran.

Kami lalu mengenang ayah, mengingat hal-hal lucu yang terjadi saat kami kecil. Tetapi begitu tawa habis, kami langsung ingat, ayah yang membuat tawa itu sudah tidak ada.

Sudah malam saat tiba di rumah. Kubuka kain yang menutupi kepala ayah. Aku mengira aku akan melihat wajah yang menakutkan, tetapi kutemukan muka tenang. Lebih tenang daripada mukanya saat tidur. Aku bersyukur atas apa yang kulihat. Kucium ayah, terasa kaku dan dingin.

Aku tahu ayah tidak bisa mendengarnya, tetapi tidak bisa kucegah mulut ini membisikkan sesuatu yang tidak pernah kubisikkan saat ia masih hidup, “Ayah, aku sayang ayah.”

***

Tepat di hari ulang tahunnya — Minggu, 16 Agustus — ketika terbangun aku langsung ingat, ini hari terakhir ayah di rumah. Pikiranku sibuk sendiri, apakah ibu dan saudara-saudaraku akan menangis? Aku sering melihat, paling sedikit tiga kali orang akan menangisi kematian kerabatnya. Saat mendengar berita itu, saat penutupan peti mati, dan saat penimbunannya.

Jam sebelas kami memasuki halaman gereja. Menginjak teras gereja ini, aku teringat foto ibu. Ia sedang memegang seikat bunga, berdiri berdampingan dengan ayah. Ibu pasti juga mengingatnya ketika melihat teras dan pintu yang sama, karena tanggal 23 Desember 1972, ia menikah dengan ayah di gereja ini. Sekarang, ia harus melepas ayah di gereja yang sama.

Seluruh keluarga duduk di depan mimbar, mengelilingi peti jenazah. Semua orang bisa mendengar isak tangis ibu saat pembacaan riwayat ayah. Aku rasa ini bukan sekedar tangisan sedih, lebih merupakan tangisan haru. Ayah sakit saat kuliah kami semua hampir selesai. Ibu pasti ingat saat mereka menyekolahkan delapan anak dengan keadaan pas-pasan.

Di pemakaman, acara berlangsung lancar. Ini hanya penimbunan peti mati. Satu lagu, sebuah doa, dan pembacaan Firman yang diakhiri perkataan, “Tanah kembali ke tanah.” Lalu kami bergerak maju, menjumput satu dua gumpal tanah. Aku melakukannya dengan penuh penghayatan. Menyadari tidak akan pernah bisa melihat ayah lagi.

Kembali ke rumah, kamar ayah sudah kosong. Ada meja kecil di sudut, kuletakkan foto ayah yang tadi dibawa ke pemakaman. Beberapa kasur pindah ke kamar ayah, lalu kami tiduran di sana. Awalnya hanya membahas tidak adanya anak ayah yang menangis waktu pemakaman. Apakah orang menganggap kami keterlaluan? Sepertinya kami sudah tahu, perjalanan ini memang untuk menguburkan ayah. Saat aku masih di pesawat, dua adikku berkata ia membeli perlengkapan jenazah di Palangkaraya. Satu di antara mereka tidak bisa menahan air mata saat memilih sebuah bantal.

Kami sudah menangis satu hari sebelum ayah meninggal.

Besok sudah ada yang harus pulang ke tempat kerjanya. Sekaranglah saat menghitung utang bersama. Sumbangan yang masuk tiga belas juta lebih, tapi uang yang dikeluarkan tidak sampai sebelas juta. Seharusnya pengeluaran lebih dari itu, karena setiap membeli beras, gula atau minuman, penjualnya sama sekali tidak mau menerima pembayaran.

Seorang adik berkata, “Kita bahkan tidak bisa membalas ayah dengan patungan membayar biaya kematiannya.”

Yuppi

Tentang Yuppi

Yuppi Purnason telah menulis 4 artikel di blog ini..

Cetak tulisan ini Cetak tulisan ini
Kategori: HRD
Kata kunci: , ,
Leave a comment
Comments (2) Trackbacks (0)
  1. Saya turut berbela sungkawa atas meninggalnya ayahanda tercinta kak Yuppi.
    Saya harap kak Yuppi dan keluarga tetap kuat dan tabah walau harus terputus tali kasihnya dengan ayahanda.
    Ini pasti yang terbaik untuk kak Yuppi dan keluarga sekaligus untuk ayahanda sendiri, karena beliau tak perlu merasakan penderitaannya terlalu lama.

    Selamat datang kembali di YLSA, semangatlah bekerja di ladang Tuhan di sini. Semakin bijak dalam merencanakan hidup ya… God bless you 🙂

    • Terima kasih Setya, akhirnya saya benar-benar bersyukur atas apa yang telah terjadi.

      Seperti kata kakakku, kita boleh menangisi kematian orang yang kita kasihi, tetapi jangan sampai meratapinya.


Cancel reply

Connect with Facebook

No trackbacks yet.